Jumat, 17 April 2020

Maluku Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat

Wawan Setiawan Tirta
Selamat datang di dan pada kesempatan ini dapat akan mengulas mengenai “Maluku Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat. Pada kesempatan ini membahas ulasan yang lebih membidik langsung pada situasi-situasi di Maluku saat itu, khususnya akan membahas Situasi Politik, Pemerintahan, Ekonomi dan Keagamaan. Untuk penjelasannya mari kita simak ulasan berikut ini.

Situasi Politik
Sejarah Maluku sangat identik dengan sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di daerah tersebut. meskipun sebagain besar mitos dan legenda. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa di kawasan ini terdapat lebih dari empat kerajaan yakni Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan yang merupakan kerajaan-kerajaan besar dan nampaknya memiliki pengaruh serta telah eksis sejak paruh pertama abad ke – 13.
 Selamat datang di  dan pada kesempatan ini dapat akan mengulas mengenai  Maluku Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat
Selain itu sebenarnya masih ada beberapa kerajaan kecil lainnya seperti Loloda, Moro, dan Obi yang tidak terlalu berpengaruh lantaran didominasi kerajaan-kerajaan besar, namun telah menghiasi lembaran sejarah maluku dan pantas dicatat.

Penguasa kerajaan-kerajaan di Maluku ini disebut Kolano (dari bahasa Jawa Kelana)/raja, dan setelah memeluk agama Islam sebutan Kolano dirubah menjadi Sultan.

Dari empat kerajaan besar itu, hanya Ternate dan Tidore yang mempunyai posisi penting dalam situasi politik, ekonomi, maupun militer. Keduanya  nampaknya mempunyai pandangan politik yang hampir sama yakni ekspansionis, dan oleh sebab itu mempunyai kekuatan militer yang relatif hampir berimbang.

Namun terdapat perbedaan dalam mengimplementasikan ambisi ekspansionismenya, Ternate mengarahkan tujuannya ke barat sementara Tidore ke Timur.

Ternate menanamkan pengaruh dan kendalinya atas Ambon dan bagian barat pulau-pulau Seram. Di abad ke – 16 domonion Ternate akhirnya membentang dari Mindanao di utara sampai dengan Flores di selatan, dari Sulawesi Utara (Manado, Gorontalo, dan Kepulauan Sangir Talaud) hingga pantai timur Sulawesi Tengah (Kayeli, Tobungku, Banggai), dari pantai timur Sulawesi Selatan (Buton) hingga Seram Barat dan Banda. Kerajaan tersebut juga mulai mengobok-ngobok wilayah Kerajaan Jailolo, Loloda, dan Moro, yang berakhir dengan lenyapnya kerajaan-kerajaan itu dan menjadi bagian dari integral Kerajaan Ternate.

Pertengahan abad ke- 16 puncak kedigdayaan Ternate tercapai di masa pemerintahan Sultan Khairun (1535 hingga 1545) dan 1546 hingga 1570 serta  Sultan Babullah (1570 hingga 1583).

Dari sisi lain Tidore yang menjadi pesaing Ternate dalam ekspansi teritorial, menargetkan kawasan timur. Setelah berhasil menguasai hampir tiga perempat Halmahera dan Seram Timur, Tidore berhasil menguasai Kepulauan Raja Ampat, dan kemudian Papua Daratan serta menjadikan daerah-daerah itu sebagai vasalnya.

Secara politis kedua kerajaan itu saling bersaing ketat, namun suatu perang terbuka dan frontal tidak pernah terjadi. Terkadang terjadi insiden kecil mewarnai hubungan keduanya, namun tidak sampai menimbulkan ofensif militer secara terbuka.

Pulau Makian sebagai contohnya; beberapa kali beralih tangan antara kedua kerajaan itu, namun hal tersebut lebih disebabkan keinginan untuk menguasai sumber-sumber daya alam (ekonomi) dan bukan militer ataupun politik.

Di tahun 1332, keempat kerajaan menandatangani sebuah persekutuahn yang terkenal dengan nama Motir Verbond. Selain dalam persaingan politik dan perebutan hegemoni regional, sejak tahun 1512 timbul persaingan baru, yakni dalam upaya untuk melakukan kerjasama/bermitra dengan bangsa barat kepihak masing-masing.

Ketika mengetahui berita bahwa armada Portugis telah tiba di Banda, Sultan Ternate Bayanullah (Boleif) segera mengirimkan perahu tempur (juanga) untuk menjemput Francisco Serrao di  Ambon.

Nampaknya hal serupa juga dilakukan Sultan Tidore, namun kalah cepat sehingga ketika utusannya tiba di Ambon, Francisco Serrao telah lebih dulu diboyong ke Ternate.

Kerajaan Jailolo, yang merupakan kerajaan tertua dan telah eksis lebih dahulu dari ketiga kerajaan besar lainnya, pernah memiliki kekuasaan yang kuat di bidang politik maupun militer, dan menjadi kerajaan Adidaya di kawasan Maluku. Namun pengaruh politik dan militer kerajaan tersebut tidak berlangsung lama.

Ternate dengan bantuan Portugis berhasil melikuidasi kerajaan itu di tahun 1551. Kemudian Ternate mendegradasi kerajaan itu hingga menjadi sebuah distrik (sangaji). Semenjak itu Jailolo tidak pernah berhasil mengembalikan dan membangun kekuasaannya seperti semula.

Bacan, kerajaan yang mulanya adalah kerajaan Makian dan dipindahkan ke pulau Kasiruta, perpindahan itu disebabkan oleh meletusnya gunung berapi Kie Besi, hanya memilik teritori di pulau Bacan dan Kasiruta.

Dalam perkembangannya, kerajaan ini mampu menguasai beberapa perkampungan di pantai utara Pulau Seram dan wilayah Gane Barat di selatan Halmahera.

Dalam persaingan politik antara Ternate dan Tidore, nampaknya Bacan lebih dekat kepada Tidore. Hal ini karena kerajaan Bacan memainkan peranan penting dalam sejarah penyebaran misi Katolik di Maluku. Di tahun 1557, Raja Bacan yang baru dilantik, Alauddin, mengonversi agamanya dari Islam ke Kristen Katolik. Kemudian ia menyatakan seluruh kerajaan dan keluarganya menjadi Kristen dan mengganti namanya dengan Dom Joao. Dan atas ultimatum Babullah, Dom Joao kembali lagi memeluk agama Islam.

Di samping itu nampaknya kerajaan lainnya tidak mempunyai peranan baik, ekonomi, maupun militer, yang relevan. Kerajaan Obi dikuasai Bacan, sementara Moro dan Loloda di Halmahera Utara oleh Babullah digabungkan dengan Ternate.

Situasi Pemerintahan
Berlatarbelakang bahwa Maluku merupakan jazirah kerajaan, jadi tidak mengherankan apabila dalam gaya pemerintahannya adalah monarki yang dielaborasi dengan unsur-unsur adat mapun tradisi.

Tahta adalah lambang supremasi pemerintahan yang diduduki seorang raja sebagai pengambil keputusan terakhir atas semua urusan kerajaan dan pemerintahan. Seorang raja dibantu suatu birokrasi yang disebut Bobato (semacam menteri), yang dikepalai seorang Jogugu (perndana menteri), yang selalu dijabat tokoh-tokoh kepercayaan raja.

Pimpinan militer kerajaan dipegang seorang Kapita Laut (Panglima Laut) yang selalu dijabat putera mahkota atau salah seorang putera raja lainnya.

Wilayah kerajaan terbagi dalam beberapa Jiko (semacam distrik) yang dipimpin seorang Sangaji (dalam bahasa Jawa: Sang Aji) yang disebut Jiko Ma Kolano (Kepala Pemerintahan Wilayah) yang membawahkan sejumlah Soa (komunitas setingkat desa) yang dikepalai seorang Kimalaha.

Selain seorang Sangaji yang menjalankan tugas pemerintahan masih ada lagi yakni seorang Utusang yang diangkat raja, dan bertugas sebagai wakil pribadi raja untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lain.

Raja juga mengangkat seorang Salahakan (gubernur), sebagai pemerintahan wilayah daerah-daerah taklukan yang bukan kerajaan dan untuk daerah-daerah taklukan yang sudah ada rajanya maka raja tetap memegang kekuasaan dan daerahnya menjadi vasal.

Situasi Ekonomi
Utamanya kekayaan Maluku diperoleh dari rempah-rempah cengkih. Tanaman rempah-rempah ini awalnya tumbuh secara liar di pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta. Cengkih baru dibudidayakan mulai tahun 1450. Kekayaan akan rempah-rempah itu telah menyebabkan para pedagang Melayu, Cina, Arab, Jawa, Persia, dan Gujarat datang di daerah-daerah ini dengan membawa tekstil, beras, perhiasan, dan kebutuhan hidup lainnya untuk ditukar dengan rempah-rempah.

Pertukaran tersebut membuat para pedagang asing meraup keuntungan berlipat ganda dari pada rakyat kerajaan Ternate, Tidore dan Bacan yang penghasil rempah-rempah. Para Sultan, terutam Ternate dan Tidore menguasai sentral-sentral perdagangan rempah-rempah, juga menjadi kaya raya dan sangat makmur.

Perlu diketahui juga bahan makanan utama rakyat Maluku adalah beras, sagu dan ikan. Namun beras dan sagu tidak dihasilkan oleh Ternate dan Tidore. Kedua jenis bahan pangan itu didatangkan dari Moro, Bacan, Sahu, dan wilayah Halmahera lainnya.

Situasi Keagamaan
Awal mulanya, yakni sebelum masuknya Islam, kepercayaan yang dianut raja dan rakyat adalah Animisme. Meskipun dalam sejarah Indonesia dikatakan bahwa sebelum masuknya Islam, kerajaan Majapahit yang Hindu itu telah menguasai seluruh Nusantara, tetapi di Maluku tidak terdapat bukti kesejarahan bahwa rakyat dan para rajanya pernah menganut agama Hindu. Di kawasan Maluku tidak dipernah ditemukan candi/prasasti yang mengidentifikasikan hal tersebut. Dari kenyataan itu sebenarnya sangat disangsikan dan bertolak dari bukti-bukti kesejarahan apabila kekuasaan Majapahit yang besar itu pernah memberi pengaruh atau menanamkan pengaruhnya di Maluku.

Sumber bacaan
M. Adnan Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah, Jakarta: KPG

Demikianlah ulasan mengenai “Maluku Sebelum Kedatangan Bangsa-bangsa Barat", yang kiranya memang tuliskan singkat, namun meskipun ulasan tersebut singkat, semoga ada manfaatnya, dan sangat berterima kasih karena anda telah menyempatkan diri untuk berkunjung ataupun membaca. Cukup sekian dan Sampai Jumpa! Dan jangan lupa raihlah impianmu dan hiduplah dengan penuh semangat! Semoga Sukses!